• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elite Politik Seharusnya Mampu Menjadi Promotor

K

reativitas anak-anak SMK di Solo, Jawa Tengah yang menghasilkan mobil Kiat Esemka, seolah menjadi pendorong munculnya kreativitas yang sama di Bandung, Surabaya dan berbagai kota lainnya. Anak-anak SMK itu, di bawah bimbingan para guru mereka, juga membuat mobil dalam bentuk yang berbeda atau membuat peralatan motif batik yang sangat berguna bagi masyarakat. Padahal, kalau dilihat dari skala waktu kemunculan berbagai kreativitas itu di media massa, bisa dipastikan sesungguhnya mereka itu telah mengerjakannya dalam skala waktu yang hampir bersamaan. Bahwa mobil Kiat Esemka yang lahir di Solo yang paling dahulu muncul ke permukaan, itu membuktikan bahwa harus ada semacam promotor yang mampu mengungkap kreativitas tersebut ke permukaan. Peran promotor inilah yang mungkin tidak dimiliki atau kurang dilihat di daerah-daerah yang anak-anak remajanya mempunyai kreativitas positif yang mampu mengangkat citra daerah dan negara.

Banyak tinjauan yang bisa dilihat dari fenomena munculnya mobil Kiat Esemka tersebut. Pada ranah politis, dan ini yang paling berperan, keterkenalan mobil hasil kreativitas anak muda itu disebabkan oleh munculnya tokoh politik (pemerintahan) yang memberikan apresiasi kepada hasil kreativitas itu. Susah untuk dipungkiri bahwa kemunculan mobil itu di publik tidak bisa dilepaskan oleh perhatian Walikota Solo (Jokowi/Joko Widodo). Apresiasi tersebut tidak hanya dalam bentuk pujian verbal belaka,

akan tetapi tindakan dalam bentuk memakainya sebagai mobil dinas. Dari sinilah cikal bakal kemunculan popularitas yang kemudian seolah-olah mendorong munculnya kreativitas di tempat lain.

Tindakan dari walikota ini bisa dikatakan sebagai antiteori umum dan pro nasional (rakyat). Secara umum, kemewahan pejabat menjadi ”teori” yang sudah mapan di Indonesia. Bahwa seorang pejabat harus dilayani dan mendapat fasilitas yang mewah. Padahal secara fenomenologis, di balik diamnya rakyat atas kemewahan- kemewahan tersebut, sesungguhnya mereka protes, tidak menyetujui adanya kemewahan berlebih yang diperlihatkan oleh seorang pejabat pemerintah. Atau tidak ingin melakukan pelayanan berlebih kepada aktor pemerintah yang mendapatkan kedudukan. Itulah, maka ketika walikota tersebut melakukan langkah nyata untuk memakai Kiat Esemka sebagai mobil dinas, langsung mendapatkan apresiasi positif karena dipandang sebagai jawaban dari di balik diamnya masyarakat itu. Ya, memang benar langkah walikota ini pun sesungguhnya langkah politik yang memberikan keuntungan politis baginya secara pribadi. Akan tetapi langkah politis inilah yang memang seharusnya dilakukan karena langkah tersebut pro-rakyat.

Apresiasi yang dilakukan terhadap walikota itu semakin membuktikan bahwa aktor pemerintah sesungguhnya mempunyai aset luar biasa sebagai seorang promotor. Seorang aktor pemerintah, secara tidak langsung menggenggam dua aset sekaligus dan saling melekat, yaitu aktor publik dan ruang publik. Sebagai aktor publik, tindakan seorang pejabat pemerintah akan menjadi perhatian masyarakat luas. Namun sebagai ruang publik, tindakannya itu tidak sekedar diperhatikan tetapi didiskusikan oleh berbagai pihak (mirip dengan diskusi yang dilakukan di warung, pemberhentian bis, lapangan olahraga dsb), ibarat di dalam sebuah ruangan, dan kemudian disebarkan secara lebih luas, baik oleh media massa maupun oleh jaringan sosial di masyarakat secara berantai. Maka dalam konteks ini, seorang pejabat pemerintah sesungguhnya juga mempunyai peran sebagai seorang promotor. Tugas promotor adalah memperkenalkan, memperlihatkan apa yang menjadi bimbingannya. Pejabat pemerintah adalah pembimbing masyarakat. Promotorlah yang mampu membangkitkan prestasi seseorang dan juga mampu

memperbaikinya menjadi lebih baik agar dikenal luas. Dalam dunia olahraga tinju, Muhammad Ali dan Sugar Ray Leonard tidak akan mungkin terkenal jika tidak ada Bob Arum. Atau Make Tyson tidak akan bisa dikenal dunia kalau tidak ada Don King, sang promotor. Dengan demikian, seorang politisi seharusnya pintar menjadi promotor prestasi rakyat, bukan pecundang politik!

Dalam konteks sosiologis, fenomena semaraknya sambutan masyarakat atas Kiat Esemka dan kreativitas anak-anak lainnya itu, memperlihatkan bahwa masyarakat sesungguhnya haus akan prestasi yang membumi. Tanpa mengecilkan arti berhasilnya para mahasiswa kita di ajang robot internasional, juga tanpa mengecilkan makna keberhasilan para remaja Indonesia dalam berbagai olimpade pengetahuan, sambutan terhadap keberhasilan Kiat Esemka itu memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang lebih menyentuh perhatian mereka. Keberhasilan membuat mobil ini membangkitkan rasa nasionalitas masyarakat di tengah berbagai keterpurukan prestasi bangsa. Jika bulutangkis telah jeblok, atau olahraga panahan sudah tidak mampu berprestasi dunia lagi (apalagi sepakbola!), kemampuan para remaja membuat mobil sendiri ini mampu membangkitkan kebanggan nasional. Dengan demikian, keberhasilan ini sangat berpengaruh terhadap nilai-nilai persatuan Indonesia, yang kini

coreng moreng oleh konlik yang benada sara. Mobil Kiat ini seolah

mampu merajut, menyambung lagi rasa nasionalis Indonesia yang tersekat oleh berbagai suku, bahasa dan budaya.

Indonesia adalah negara dengan kondisi geografis yang amat beragam. Terlalu jauh perbedaan antara kota dan desa, desa dan pegunungan dan antara kaya dan miskin. Keberhasilan membuat mobil ditangan para siswa seolah keberhasilan yang membumi. Bagaimanapun, putra Indonesia akan lebih mampu memahami kondisi alamnya sendiri dan kemudian membuat kendaraan yang bisa lebih elastis dan lebih murah (manusiawi!) yang mampu menjelajahi desa dan pengunungan secara lebih baik. Kendaraan seperti inilah yang diperlukan masyarakat Indonesia sekarang, bukan yang mempunyai bandrol mahal yang sekedar menjadi bahan pameran orang kaya di jalan-jalan raya kota. Penemuan mobil seperti ini dipandang akan lebih mampu menjawab tantangan lain di laut,

sungai dan danau yang menjadi karakter kepulauan Indonesia. Di masa depan, kapal-kapal pengangkut seperti ini akan mampu lagi dibuat oleh anak-anak sekolah menengah kita sehingga tidak perlu lagi mengimpor kapal laut dari luar negeri. Tentu juga angkutan massal seperti kereta api sangat diperlukan.

Pada konteks pendidikan, menjadi semakin nyata bahwa paradigma pendidikan Indonesia di masa lalu ternyata lebih cocok dan mengena bagi masyarakat. Pada dekade tujuhpuluhan, Indonesia telah mengenal sekolah kejuruan sejak sekolah menengah pertama. Juga telah dikenalkan adanya pelajaran pra-karya sejak sekolah menengah pertama. Inilah sesungguhnya yang diperlukan negara berkembang seperti Indonesia karena masyarakatnya memerlukan keterampilan agar lebih mandiri dalam menjawab tantangan. Tetapi ”perkembangan jaman” kemudian membuat jenjang pendidikan keterampilan ini seolah dihapus sejak sekolah menengah pertama, bahkan nyaris juga pada jenjang sekolah menengah atas. Kini anak- anak SMK telah memperlihatkan bahwa pendidikan Indonesia memerlukan keterampilan lebih banyak dibanding jenjang pemikir.

Korupsi dan Kekuatan

Garis besar

Dokumen terkait