• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zigzag Politik Golkar dan Potensi Poros Ketiga

J

ika saja Partai Golkar itu seorang pemain sepakbola, kemungkinan besar ia tidak akan terpilih masuk tim Piala Dunia 2014. Pemimpin umum partai ini dalam beberapa hari belakangan melakukana gerak zigzag politik dengan berkunjung dan menyapa para petinggi partai politik yang lain. Setelah dengan Prabowo (dari Gerindra), tokoh partai ini kemudian berdekatan dengan Jokowi (PDI Perjuangan), terus kepada Susilo Bambang Yudoyono dan terakhir kepada Megawati Sukarnoputri (PDI Perjuangan). Sebagai pemenang kedua pemilu legislatif, harus diakui Partai Golkar meraih suara besar, tetapi tetap tidak meyakinkan untuk menjadi pemenang dalam pemilihan presiden. Dengan begitu zigzag politik ini bisa ditafsirkan macam-macam. Bisa saja partai ini kebingungan mencari partner untuk bisa duduk dalam pemerintahan. Atau mungkin sengaja memperlihatkan diri kepada partai-partai lain, dengan berkata ”saya mempunyai kekuatan besar, Anda memberi apa kepada kami?” Wow...kalau memang benar tafsirannya seperti ini, tidak ada yang berubah dari Golkar. Dari dulu selalu ingin duduk di lingkar kekuasaan. Padahal, sebagai partai besar mestinya berani percaya diri, menarik partai lain untuk berkoalisi atau sekalian tidak ikut di pemerintahan. Pengalaman tidak ikut pemerintahan penting untuk menambah kedewasaan partai. Ada kesan partai ini tidak mau duduk di ”bangku cadangan”, selalu saja ingin menjadi pemain inti setiap ada pertandingan. Pemerintahan adalah sebuah pertandingan menghadapi berbagai kompetitor berupa persoalan negara bangsa.

Di Prancis, terjadi kejutan ketika pelatih nasional Didier Deschamps tidak memilih Samir Nasri ke dalam skuad Piala Dunia 2014 di Brazil. Pacar pemain ini mencak-mencak memisuhi pelatih dan negara Prancis sendiri. Tetapi penjelasan sang pelatih justru dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat dan penggemar. Nasri memang pemain cerdas dan berkualitas, tetapi kualitas mentalnya dipandang buruk. Ia sering marah-marah dan, yang paling mengkhawatirkan, akan ngomel dan mencak-mencak kalau dibangkucadangkan. Mental seperti ini tentu saja akan mampu mengganggu keseimbangan tim pada turnamen sekelas Piala Dunia.

Apakah Partai Golkar mau ”dibangkucadangkan?”. Inilah pertanyaan dasar yang bisa jadi dipikirkan oleh partai-partai lain. Golkar, dengan kekuatan organisasinya memiliki kemampuan besar untuk meraih dukungan di masyarakat. Kekuatan itu memang sudah terbukti. Kejatuhan Orde Baru tidak membuat Golkar tiarap bahkan tetap pada posisi kedua. Tidak bisa disangsikan bahwa loyalitas, kinerja para organisator, profesionalitas dan dana memungkinkan mereka tetap mampu berbicara di tingkat politik nasional. Bahkan isu korusi pun tidak mampu menggoyahkan posisi partai ini.

Kelemahannya, mereka tidak mempunyai igur nasional seperti

yang diidamkan oleh masyarakat Indonesia yang masih bersikap

tradisional. Sangat kelihatan bagaimana igur yang tidak ambisius,

polos, datar, lugu, bersentuhan dengan rakyat, sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Itu ada pada Soekarno (merakyat), Soeharto (polos), Gus Dur (bersentuhan dengan rakyat), Susilo Bambang Yudoyono (polos, datar, bersentuhan dengan rakyat) dan Jokowi (polos, datar, lugu, bersentuhan dengan rakyat). Di Partai Golkar tidak ada kelihatan model-model seperti itu. Malah yang kelihatan terkesan ambisius. Ini yang sulit diadapatasi oleh masyarakat sehingga sulit bisa berbuat banyak dalam pemilihan presiden. Antara pemilu presiden dengan pemilu legislatif, dalam konteks keterikatan

sosial, jelas sangat berbeda. Pada pemilu presiden, igur itu menukik

tajam menuju ranah nasional. Sedangkan pada pemilu legislatif,

keterikatan igurnya justru menukik ke ranah daerah. Politisi bisa saja menjadi igur di daerah, tetapi tidak untuk daerah lain, apalagi

daerah, tetapi berbeda dengan daerah lain. Calon legislatif yang berakar daerah, lebih mudah melakukan manuvernya (entah dengan serangan fajar atau simakrama) di daerah ketimbang nasional. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa Partai Golkar sulit mendapatkan suara pada tingkat nasional, dibanding dengan suara yang berakar pada daerah.

Dikaitkan dengan perjalanan politik di Indonesia, partai ini juga mempunyai kelemahan justru karena kebesarannya sendiri. Bagaimanapun dengan kebesaran yang dimiliki partai ini serta kemampuannya meraih banyak suara di ”segala jaman”, berpotensi membuat partai lain juga ketakutan kalau diajak berkoalisi. Jika misalnya Golkar hanya diparkair sebagai ”pemain cadangan” atau hanya diberikan kursi menteri di bawah kuota yang diinginkan Golkar, bukan tidak mungkin dengan kekuatan politiknya, partai itu bisa menggoyang pemerintahan.

Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, hal ini sempat terucap oleh partai-partai politik, tidak hanya Partai Golkar. Dan satu saja menteri ”mogok” dalam kabinet, pemerintahan sebagai sebuah sistem bisa guncang. Situasi seperti ini jelas sangat tidak baik untuk negara seperti Indonesia yang benar-benar memerlukan kosentrasi tinggi untuk menjalankan roda pemerintahan. Di jaman globalisasi seperti sekarang dan jaman komunikasi serba cepat ini, rumor politik bisa membuat situasi macam-macam. Mogoknya satu menteri bisa dipakai sebagai rumor politik yang empuk. Negara-negara yang tidak suka dengan Indonesia bisa saja membuat blog yang mengatakan situasi politik Indonesia gawat. Atau investor luar terpaksa menunda pembangunannya atau tiba-tiba saja travel warning dikeluarkan kepada warganegara yang mau ke Indonesia. Karena itu, benar- benar diperlukan suatu pemerintahan yang mantap, sepakat, tidak membuat move macam-macam dalam perjalanan kepemerintahan.

Pemerintahan nanti, seharusnya banyak belajar dengan pemerintahan koalisi yang terbentuk pada kabinet Susilo Bambang Yudoyono. Dan kemungkinan pembelajaran ini masih sedang dikaji oleh partai-partai yang kelihatan memperoleh jumlah suara besar seperti Gerindra atau PDI Perjuangan. Tidak seluruhnya cita- cita menstabilkan politik negara itu tercapai dengan menerapkan

model kabinet pelangi. Komposisi menteri seperti ini hanya mampu menstabilkan politik secara relatif, tetapi akan mudah goyah apabila platform kebijakan negara tidak menyesuaikan dengan nilai partai politik pendukung kabinet pelangi tersebut. Padahal, ketika sudah tergabung dalam kabinet, seharusnya yang menjadi patokan adalah negara dan bangsa sebagai prioritas.

Maka, seharusnya demi bangsa dan negara, termasuk demi pengalaman partai ini, Golkar dengan perolehan suara banyak dan konsisten dengan suaranya itu, harus berani memilih alternatif tersendiri. Poros Ketiga di luar PDI Perjuangan dan Gerindra perlu dipkirkan partai ini. Wacana yang sempat dikemukajan oleh Susilo Bambang Yudoyono untuk membentuk poros kketiga perlu dipikirkan. Poros ini akan menjadi kejutan, langkah baru dan amat mungkin sebagai sebuah terobosan, akan ditanggapi positif oleh masyarakat. Memang kemudian ini berpotensi membuat pemilu berlangsung tiga putaran. Tetapi sebagai sebuah pelajaran politik, mungkin ini penting. 

Menyaksikan Babak Lanjutan

Garis besar

Dokumen terkait