• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Perubahan Sosial Jika Kewenangan Pemilihan di DPRD

P

ersoalan pilihan kepala daerah yang hendak “dibelokkan” kepada lembaga legislative daerah, nempaknya perlu disoroti secara periodic. Secara sosiologis, masalah ini akan mampu membuat perubahan sosial kepada masyarakat. Perubahan sosial yang dimaksudkan ini adalah sikap dan tindakan masyarakat dalam memandang pemerintahan negara. Dalam hal ini yang lebih bersifat local.

Seperti sering diungkapkan media massa, bahwa wacana untuk membelokkan cara pemilihan kepala daerah itu menguat. Jika selama reformasi pemilihan kepala daerah (gubernur. Bupati dan walikota), pemilihan langsung dilakukan oleh masyarakat, maka kelak (rencananya setelah DPR bersidang akhir bulan ini), beberapa fraksi di lembaga tersebut telah sepakat kuat untuk mengubah cara menjadi pemilihan dilakukan oleh lembaga legislative di daerah. Fungsi DPRD yang sebelumnya mengawasi, legislasi dan anggaran, tiba-tiba ditambah lagi menjadi memilih pemimpin daerah. Kontroversinya, fraksi-fraksi tersebut sebelumnya sepakat untuk mempertahankan pemilihan langsung. Akan tetapi tiba-tiba berbalik sepakat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kontroversi ini sangat mengecewakan, dan kemudian melahirkan kecurigaan besar di masyarakat bahwa pembalikan sikap itu disebabkan oleh kekecewaan mereka akibat kekalahan pasangan Prabowo-Hatta dalam pemilihan prsesiden. Sebagian besar dari fraksi tersebut adalah pendukung calon pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.

Maka, apabila kelak benar-benar DPR menyepakai perubahan metode pemilihan tersebut, akan mempunyai akibat kepada sikap dan persepsi masyarakat. Disini perubahan sosial tersebut akan memperlihatkan kondisi real di masyarakat. Sebagai sebuah fenomena sosial, politik (dengan segala tindakannya), merupakan bagian dari realitas sosial. Dan realitas sosial itu akrab dengan berbagai macam perubahan.

Yang pertama pola hubungan antara calon kepala daerah dengan rakyat. Metode pemilihan langsung akan membuat calon pemimpin di daerah langsung terjun ke lapangan, bukan saja memperkenalkan dirinya tetapi juga langsung dan tidak langsung akan melihat kondisi lapangan (fakta sosial yang ada di masyarakat). Terjun langsung ini bukan masalah sok dekat dengan rakyat tetapi dekat dengan keadaan yang betul-betul di lapangan.

Seorang pemimpin, dimana pun itu, pada hakekatnya seorang manajer dan memikirkan dan mengelola bawahannya berdasarkan kepada keadaan di lapangan. Ketika seorang calon pemimpin berkampanye untuk menjadi pemimpin dan dengan itu ia harus ke lapangan, maka sekaligus dua hal yang didapatkan, yaitu dekat dengan rakyat dan tahu keadaan. Manajemen yang keluar dari pikirannya sangat didasarkan kepada pengetahuan yang didapatkan di lapangan. Pengetahuan itu bisa dipegang karena ia aberkunjung ke lapangan. Dan keputusan yang dibuat berdasarkan pada perpaduan antara fakta di lapangan dengan karakter masyarakatnya. Dengan demikian, pemilihan bupati misalnya, paling bagus kalau dilakukan secara langsung karena dengan begitulah ia melihat kondisi real di lapangan.

Seorang bupati akan dengan cepat membuat keputusan untuk memprioritaskan pembangunan pertanian di daerah pertanian, dengan masyarakat yang memang kegiatannya pertanian. Bupati di lokasi seperti ini tidak akan mungkin memberikan ijin pembangunan perumahan. Bupati harus datang langsung ke lapangan, bukan sekedar mencontoh apa yang dilakukan Joko Widodo ketika menjadi walikota, tetapi memang harus begitu karena pejabat inilah paling dekat dengan rakyat dibanding dengan gubernur atau presiden. Modal awal yang dipakainya adalah saat berkampanye.

Jika kemudian model pemilihan langsung ini tidak lagi dilakukan, maka seorang calon bupati, walikota atau calon gubernur bisa-bisa akan menjadi broker atau calo politik. Mereka tidak akan terjun ke lapangan untuk berkampanye dan melihat kondisi lapangan tetapi melihat konisi rumah calon anggota DPRD.

Calon bupati, walikota atau calon gubernur berpotensi besar menjadi aktor penyebar kolusi dan nepotisme karena mencoba menyuap calon anggota DPRD bahkan sebelum calon itu resmi terpilih bahna belum resmi dilantik. Apabila ini terjadi, lagi-lagi mereka berpotensi menyuap aggota DPRD untukketerpilihannya menjadi pejabat. Jelas calon seperti ini akan jauh dari masyarakat, tidak tahu fakta di lapangan dan sama sekali tidak mempunyai pengetahuan riil apabila kelak menjadi bupati. Apa yang mampu dikerjakan bupati yang menyuap anggota DPRD?

Perubahan sosial yang terjadi sangat mendasar, berupa pembelokan nilai-nilai dalam melaksanakan pemerintahan. Bupati berpotensi memerintah tidak atas kehendak rakyat, tidak atas reaalitas sosial tetapi berdasar kehendak elit anggota DPRD dan atas realitas sikap anggota lembaga tersebut. Pola pemerintahannya akan kaku, dan berpotensi menjalankan laporan palsu dari bawahannya. Sementara bawahannya akan melaporkan keadaan di lapangan atas dasar ABS (asal bapak senang) saja.

Kedua, dari tingkat masyarakat akan berpotensi melahirkan pola feodalisme baru. Cara-cara pemilihan oleh DPRD membuat adanya jarak antara pemimpin dengan rakyat yang sesungguhnya. Atau bisa jadi sebaliknya, rakyat akan menjauh dengan pemimpin. Di sini terjadi benturan antara perkembangan jaman melalui aliran informasi dan komunikasi dengan model feodalisme.

Bisa dibayangkan, televisi yang ada sekarang selalu memperlihatkan hubungan setara antara pemimpin dengan rakyat. Artinya hubungan pemimpin dengan rakyat itu egaliter, rakyat membaur dengan pemimpin. Rakyat biasa bercakap-cakap dengan pemimpin. Akan tetapi karena tidak ada pemilihan langsung sejak awal, maka pola seperti ini bisa saja hilang. Rakyat akan semakin jauh, tidak peduli dengan pemimpin. Sebaliknya pemimpin yang dipilih oleh DPRD akan merasa tidak peduli dengan rakyat karena

memang bukan rakyat yang memilih. Pemimpin pun akan menjauh. Inilah hubungan yang sangat tidak imbang, kontradisktif dalam politik. Benturan seperti ini adalah perubahan pola jarak antara pemimpin dengan rakyat. Tidak akan mungkin tercipta model manajemen pemerintahan yang baik dalam kondisi seperti ini.

Maka untuk menghindari hal tersebut, para pemimpin politik, terutama elit-elit di Jakarta, haruslah sadar dengan posisinya sebagai elit. Janganlah menitikberatkan politik itu sebagai sebuah balas dendam. Apalagi areal balasa dendam. Tidak akan pernah menjadi dewasa politisi seperti ini. Jadi, tidak usah kembali memikirkan hal- hal yang jauh dari reformasi. Biarkan pemilihan itu langsung oleh rakyat, bukan oleh lembaga DPRD. Tidak ada untungnya akembali ke masa lalu yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat. 

Kemandirian Beras, Blusukan,

Garis besar

Dokumen terkait