• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Perpecahan Dalam Pemilihan Calon Presiden

“P

ertengkaran” soal pencalonan presiden tahun 2014 telah dimulai. Ini barangkali masalah kecil atau masalah awal yang bisa saja kelak mewarnai perdebatan soal pencalonan di masa mendatang. Tinggal kurang lebih dua tahun lagi bagi partai politik untuk memunculkan calon pemimpin pemerintahan Indonesia, dan periode waktu ini (awal sampai pertengahan tahun 2012) paling baik untuk memunculkan calon tersebut. Jika telah ada kesepakatan partai politik untuk memilih calonnya, maka perjalanan setahun mendatang akan matang untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat.

”Pertengkaran” ini justru terjadi di Partai Golkar, lembaga yang mempunyai sejarah tidak mau kalah dalam soal mengelola pemerintahan. Dalam rapat pengurus Dewan Pimpinan Pusat partai yang berlangsung beberapa waktu lalu diputuskan bahwa partai ini akan mengusung Aburizal Bakrie menjadi calon tunggal sebagai presiden tahun 2014. Akan tetapi pemilihan yang dilakukan Dewan Pimpinan Pusat itu ditentang oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat II. Melalui salah seorang juru bicaranya, mengatakan bahwa pihak DPD II harus dilibatkan dalam pencalonan tersebut karena bagaimanapun DPD II ada pada akar rumput, wwilayah yang paling dekat dengan pemilih. Ketentuan konstitusi Indonesia, bahwa pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Itu artinya, DPD II mempunyai peran sentral mempengaruhi rakyat untuk menentukan pilihannya.

Sentralitas 2014

Pemilu presiden 2014 merupakan isu yang sangat sentral dan amat penting bagi partai politik, terutama partai politik besar. Dikatakan sentral dan sangat penting karena ”lowongan” untuk menjadi presiden pada saat itu sangat besar. Susilo Bambang Yudoyono yang kini menjabat sebagai presiden, sudah tidak dibolehkan konstitusi menduduki jabatan itu untuk yang ketiga kalinya. Maka, dengan kondisi demikian, siapapun akan mempunyai peluang menjadi presiden. Sentralitas pemilihan pada saat itu juga akan berlaangsung seimbang. Artinya satu faktor yang menjadi pengikat pemilih, yaitu

igur, kemungkinan besar akan lenyap. Banyak yang menyebutkan bahwa faktor igurlah yang menentukan keberhasilan SBY menjadi

presiden. Ketika sosok ini telah tidak mungkin mencalonkan diri lagi,

maka faktor igur itu akan hilang. Secara teoritik, masih belum ada individu lain dalam politik Indonesia yang mempunyai igur seperti SBY. Karena itu faktor igur tidak akan menjadi penentu lagi.

Ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penentu dalam pemilihan presiden nanti. Dalam konteks kultur Bali (kuno), seorang pemimpin biasanya disebut ”kelihan”. Ini artinya mereka yang lebih tua. Makna dari kata tersebut, diharapkan mereka yang mampu menjadi pemimpin itu terletak pada orang yang lebih tua karena dipandang pengalamannya lebih luas, lebih dahulu hidup (lahir) sehingga dengan pengalamannya itu akan mampu memimpin secara arif dan bijaksana. Akan tetapi dalam perjalanan waktu kata ”kelihan” itu jelas tidak hanya bermakna kuno yang mengartikan umur semata akan tetapi meluas pada lebih tua dalam berbagai hal, termasuk tataran kemampuan ekonomi, sosial, budaya bahkan intelektualitas. Karena itulah yang menjadi pemimpin tersebut tidak harus mereka yang mempunyai usia tua. Jika mereka masih muda dan mempunyai kemampuan ekonomi tinggi, bisa juga menjadi pemimpin. Demikian juga yang mempunyai kemampuan besar di bidang intelektual, budaya, teknologi, sosial dan sebagainya.

Barangkali, sebagai partai yang mempunyai segudang pengalaman memerintah dan segudang tokoh di dalamnya, riak- riak perpecahan dalam Golkar tersebut muncul dari sumber dayanya tersebut. Jadi, filosofi ”kelihan” ini menjadi berkembang dalam

konteks keragaman yang ada di Partai Golkar. Karena itulah ketika Dewan Pimpinan Pusat mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai calon pemimpin negara, maka ada pihak yang masih belum memandang cukup karena ada ”kelihan” yang lain. Mungkin Aburizal Bakrie ”tua” dalam kemampuan ekonomi akan tetapi ada Akbar Tanjung yang juga ”kelih” dalam pengalaman berpolitik dan organisasi. Yang terakhir ini tidak saja pernah menjadi ketua umum partai akan tetapi juga berkali-kali menjadi menteri di jaman Presidenn Soeharto, dan berpengalaman ”menyelamatkan” Golkar ketika dikoyak-ayik saat reformasi tahun 1998. Mungkin juga nanti akan muncul pendapat lain, karena Yusuf Kala juga mempunyai predikat ”kelihan”, yakni berpengalaman menjadi wakil presiden, sebuah jabatan yang hanya tinggal satu anak tangga lagi menjadi presiden.

Pemilu presiden 2014 sudah pasti akan mampu memancing masyarakat untuk lebih bersikap rasional, memakai pertimbangannya sendiri untuk mendapatkan manfaat maksimal, tidak lagi tergantung dari figur semata. Karena itulah masyarakat akan dipermainkan oleh faktor-faktor seperti yang disebutkan diatas, yaitu besar dan tua dalam kemampuan ekonomi, sosial, budaya, atau teknologi. Bisa saja kelak yang terpilih menjadi presiden adalah seorang budayawan yang memang dipandang layak oleh masyarakat. Bisa juga seorang aktivis sosial.

Partai Besar harus Waspada

Dengan kosongnya calon presiden dari faktor figur tersebut, maka partai besar harus waspada dalam menjaring dan memilih calon presidennya nanti. Figur bukanlah hal yang cocok lagi dan ini merupakan cara paling bagus dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat. Partai besar mempunyai kesempatan untuk memilih calonnya yang terbaik dan berupaya melakukan koalisi dengan paartai lain. Akan tetapi yang perlu dipertimbangkan, bahwa koalisi yang dilakukan itu tidak boleh pecah di tengah jalan. Kehancuran koalisi di tengah jalan justru akan mampu mengguncang dan menghancurkan partai itu sendiri. Rakyat akan terlalu bisa menilai kualitas partai yang bersangkutan dan kemudian akan menjauh pada pemilihan berikutnya. Partai besar (semacam Demokrat) berpotensi

mampu menggerakkan rakyat dalam jumlah yang besar pula dalam melakukan pilihan karena basis mereka di akar rumput juga besar. Namun sekali partai ini salah dalam memilih atau melakukan mekanisme, partai yang bersangkutan, sekali lagi, akan ditertawai pemilih.

Partai Golkar sudah tidak diragukan lagi kebesaran pendu- kungnya. Tetapi apabila dalam memilih calon presiden partai ini kembali terlibat pertikaian dengan rekan-rekannya sesama partai, maka simpati dari masyarakat akan bisa berkurang. Jika ini terjadi, pengalaman puluhan tahun ikut bergabung di pemerintahan akan bisa sia-sia. Bukan tidak mungkin partai ini akan gagal lagi dalam merebut posisi tertinggi di Indonesia. 

Menyikapi Calon Presiden

Garis besar

Dokumen terkait