• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyikapi Calon Presiden Dari Istri Pejabat Negara

S

ilang pendapat tentang dicalonkannya anggota keluarga presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadi presiden periode 2014-2019, sampai saat ini terus saja berlangsung. Hal ini sebenarnya telah muncul tahun lalu, tiga tahun sebelum pemilihan presiden dilakukan. Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa tokoh Partai Demokrat sempat ditegur Presiden SBY karena menyebut- nyebut kecocokan Ibu Ani Yudoyono sebagai presiden mendatang. Pertimbangannya, beliau pernah menjadi wakil ketua umum Partai Demokrat, salah satu pendiri paartai ini dan menguasai masalah kenegaraan. Kemampuan Ibu Ani menguasai masalah ketatanegaraan disebabkan karena posisinya sebagai istri dan mendampingi presiden dalam berbagai kunjungan. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi logis dari jabatan sebagai seorang istri presiden. Dengan berbagai pertimbaangan itulah, kalangan internal Partai Demokrat memandang layak untuk menjadi calon presiden.

Bagaimanapun arus wacana tersebut, seharusnya hal demikian tidak memberikan kegaduhan politik yang berkepanjangan. Titik pandang yang harus dilihat dari konteks ini adalah kata ”calon”, ”tingkat kecerdasan politik masyarakat”, dan ”sistem demokratisasi”. Kata ”calon”, jelas menyiratkan sesuatu yang belum jadi, belum laku, dan belum pasti. Ia hanya mengacu kepada kecenderungan yang akan diharapkan untuk menjadi sesuatu, yang dengan segala sumber daya yang dimilikinya diusahakan untuk tercapai. Jika Ibu Ani dicalonkan menjadi presiden, sudah pasti ia belum menjadi presiden dan belum tentu menjadi presiden. Kekhawatiran yang muncul disini

terletak pada adanya preseden buruk pada politik Indonesia yang mampu mempengaruhi perilaku-perilaku politik Indonesia di masa mendatang. Arus reformasi Indonesia sangat alergi dengan oligarki/ dinasti politik yang memungkinkan berbagai sanak keluarga ikut dilibatkan dalam dunia politik yang mereka kuasai. Harus diakui bahwa fenomena demikian sangat kuat terjadi di luar struktur presiden. Cukup banyak kepala daerah tingkat I dan tingkat II di Indonesia yang melibatkan sanak keluarganya ke dalam kegiatan dan jabatan politik dimana mereka berada. Dengan demikian, masuknya Ibu Ani Yudoyono sebagai calon presiden dikhawatirkan akan lebih melanggengkan lagi model-model oligarki politik ini di Indonesia, sehingga kondisinya tidak akan terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu.

Persoalan kekhawatiran demikian, seharusnya bisa dikon- frontirkan dengan tingkat kecerdasan politik masyarakat. Jalannya politik sebuah negara (bahkan satu kabupatan atau provinsi sekalipun), sangat tergantung kepada kecerdasan politik masyarakat. Ada tiga faktor penentu dari tingkat kecerdasan seperti ini, yaitu tingkat sosialisasi politik, tingkat pendidikan dan ketersediaan ruang publik untuk mengartikulasikan kepentingan. Sosialisasi politik merupakan bentuk paling awal dari faktor penentu ini yang menerjemahkan bagaiman rakyat paham tentang apa fungsi, tugas, wewenang dari lembaga politik, seperti presiden, DPR, bupati dan level-level lainnya. Keberhasilan sosialisasi itu tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tetapi juga aktor-aktor penggerak politik, seperti kaum intelektual, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat yang peduli dengan gerakan reformasi. Tingkat pendidikan sanagat berpengaruh kepada pemahaman tentang apa arti politik bagi kesejahteraan umum dan kemajuan peradaban. Pendidikan disini tidak hanya berarti pendidikan formal tetapi kemampuan masyarakat menyerapp pengetahuan. Sebab pengatahuan itulah yang menjadi inti dari proses terdidik dan tidaknya masyarakat. Secara umum, semakin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat, akan semakin mudah bagi mereka untuk memahami makna politik dan lebih gampang juga sosialisasi diperkenalkan. Ruang publik adalah lokasi ekpresi masyarakat, pusat interaksi sosial secara demokratis. Lokasi seperti ini akan mampu

memadukan kecerdasan dengan kedewasaan masyarakat karena di ruang seperti itulah masyarakat akan mengemukakan segala macam pendapat dan rasa intelektualnya kepada pihak yang lain. Dan dari lokasi ini pula masyarakat akan diperlihatkan kemampuannya untuk menerima pendapat baru, menilai sebuah fenomena dan menerima segala kekurangan dari kadar intelektualnya. Ruang publik tidak saja bisa berbentuk ruang dalam arti sebenarnya seperri lapangan, warung, dan sejenisnyaa tetapi juga media lain seperti surat kabar, televisi, radio yang menyiarkan acara-acara interaktif. Tentu juga medua genggam seperti telepon seluler dan ruangtatap muka yang lain. Kecerdasan politik masyarakat akan sangat tergantung dari hal-hal yang diutarakan diatas dan kecerdasan inilah yang akana menentukan lolos tidaknya pilihan bagi anggota keluarga para pejabat negara itu.

Sistem demokratisasi merupakan komponen jaringan yang memungkinkan terpadunya antara kebebasan masyarakat, berbagai elemen kecerdasan dan komponen politik kenegaraan berbaur dalam menentukan output (keluarannya). Jadi, tidak ada lagi unsur pemaksaan dalam pemilihan politik karena masyarakat telah dilindungi kebebasannya dalam memilih, masyarakat mampu menggunakan berbagai bentuk akal kecerdassannya untuk menilai, melakukan pilihan dan bertindak dalam ukuran-ukuran politik. Sistem demokratisasi yang melindungi harga kemanusiaan akan memberikan hasil yang positif bagi keberlanjutan ketatanegaraan.

Dengan demikian, apabila istri presiden dan istri pejabat manapun yang hendak diamajukan sebagai seorang calon presiden, seharusnya diserahkan saja kepada mekanisme ”alami” yang bertumpu kepada tingkat kecerdasan politik masyarakat dan tingkat demokratisasi yang telah ada di sebuah negara. Jika dari sisi negatif cara ini akan mengacu kepada munculnya preseden buruk politik yang akan mampu mempengaruhi generasi politik mendatang, sisi positifnya juga mesti dilihat. Pemunculan istri presiden atau istri seorang pejabatn sebagai kandidat presiden justru akan mampu menguji tingakt kecerdasan politik di suaru negara, mengukur keberhasilan sosialiasi politik dan juga menguji tingkat demokrastisasi yang berlaku di sebuah negara. Pencalonan istri presiden, mempunyai

nilai yang tidak berbeda dengan anak seorang presiden, istri mantan presiden, suami mantan presiden atau anak dari mantan presiden.

Kalaupun muncul suara-suara untuk mencalonkan Ibu Ani Yudoyono sebagai calon presiden mendatang, itu akan mempunyai konsekuensi negatif dan positif seperti yang diungkapkan diatas.

Bagaimana harus menganggapi atau menafsirkan sikap presiden yang konon menegur pejabat Partai Demokrat tersebut?

Yang pertama, penafsiran bisa dikatakan sebagai ungkapan kekhawatiran munculnya wacana publik yang khawatir dengan pola- pola KKN seperti jaman Orde Baru. Yang kedua, jika dilihat dari sisi politik, bisa saja ditafsirkan ini sebagai sebuah strategi ”tunggu tanggapan”. Artinya jika tetap ada desakan dari masyarakat untuk mencalonkan Ibu Ani sebagai presiden, mesti Pak SBY telah berkali- kali menolak atau menegur, mungkin saja menjelang deadline pencalonan mendatang, Ibu Ani akan diformalkan sebagai calon presiden. Ini hanya sebagai sebuah penafsiran saja! 

Lepaskan ”Set Kedua”,

Garis besar

Dokumen terkait