• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melindungi Rakyat Dari Pembohongan Politik

K

ampanye acap kali bermunculan bersamaan dengan pembohongan politik. Bagian terakhir dari kalimat ini bisa diartikan sebagai kegiatan politik di hadapan masyarakat yang hanya menonjolkan diri sepihak tanpa tindak lanjut yang bisa dipertanggungjawabkan. Pembohongan politik dengan demikian berupa tindakan menipu baik dengan cara memperlihatkan penampilan diri di hadapan masyarakat, melalui janji-janji, data palsu, secara langsung maupun lewat orang lain.

Berbagai peralatan teknologi canggih, gadget, yang kini beredar mampu menyebarkan pembohongan politik tersebut kepada berbagai kelompok masyarakat, lewat televisi maupun gadget lainnya. Tidak terkecuali juga dalam acara kampanye pemilihan Presiden Indonesia dalam pemilu 2014 ini. Persaingan antara dua pasang calon, dinilai ketat sehingga riauh rendah komentar dan suara di jagat maya dan nyata, begitu ramai. Masing-masing pasangan capres ”memiliki” stasiun televisi yang dimanfaatkan untuk memopulerkan kelompoknya sendiri maupun menampakkan kekurangan pasangan calon lain. Bukan tidak mungkin dari berbagai acara tersebut memunculkan banyak pembohongan politik kepada masyarakat.

Ada beberapa syarat munculnya pembohongan politik ini. Yang pertama, adalah ambisi yang melebihi kemampuan. Produk sosial ambisius yang melebihi kemampuan intelektual sendiri, terwujud dalam tindakan yang tidak biasa. Pada tingkat manusia, muncul dalam bentuk kesombongan. Orang seperti ini tidak mempunyai rasa malu

dan etika, selalu beropini tentang keunggulannya sendiri. Dirinya dipakai sebagai instrumen untuk memperlihatkan ambisi tersebut. Pada tingkat ekonomi, produk demikian muncul dengan bantuan iklan besar media massa maupun media luar ruang. Produk seperti ini mungkin cepat laku, tetapi cepat pudar karena masyarakat telah mengetahui kualitasnya. Sedangkan pada dunia politik, ini dilakukan dengan model kampanye yang melanggar aturan. Memasang baliho mendahului batas waktu yang dipersyaratkan, kampanye terselubung di televisi, menjelek-jelekkan saingan, dan mengagungkan diri sendiri merupakan contohnya. Secara keseluruhan, ambisi seperti ini akan tumbang sendiri oleh ketidakpercayaan rakyat.

Kedua, kompetisi yang ketat. Pada hakekatnya, kompetisi adalah sebuah arena persaingan. Maka, ketika persaingan berada pada titik yang berimbang, maka pemenang kompetisi hanya akan ditentukan oleh kekuatan mental. Peserta kompetisi yang mentalnya tidak kuat, sering terpeleset karena berupaya mencari celah negatif untuk mendukung diri. Dalam politik yang muncul adalah upaya menarik perhatian publik dengan data-data yang coba digelembungkan dari data yang sebenarnya. Janji yang dilebih-lebihkan, prestasi yang diada-adakan atau menceritakan segala kebaikan kelompok. Akan tetapi, upaya berlebihan ini akan bisa menjadi bumerang sendiri kalau tingkat intelektual rakyat sudah memadai.

Yang ketiga adalah rendahnya budaya politik partsipasi masyarakat. Pada masyarakat sedang berkembang atau yang pernah mengalami dominasi kekuasaan, tingkat partisipasi masyarakat pada politik biasanya kurang. Partisipasi yang dimaksudkan disini bukan sekedar partisipasi aktif dalam kerangka pemilihan, tetapi juga partisipasi intelektual. Artinya masyarakat ikut memikirkan, menimbang-nimbang berbagai tawaran politisi maupun partai politik sebelum melakukan pilihan. Masyarakat yang kurang mempunyai budaya politik partisipatif seperti ini akan mudah dibohongi dengan berbagai janji, data dan slogan politik.

Kekhawatiran kita, ketiga faktor sosial tersebut bisa saja terjangkit di Indonesia menjelang pemilu presiden ini sehingga masyarakat menjadi terbuai oleh berbagai janji dan eforia politik dari politisi dan partai politik. Demikian pula halnya saat menjelang pemilihan umum

presiden kali ini.

Secara jujur harus dikatakan bahwa mengelola Indonesia itu

sungguh ruwet. Komposisi struktur demograis-geograis Indonesia

yang terdiri dari banyak suku, budaya, daerah kaya dan miskin, merupakan faktor utama yang sulit menelorkan apa yang disebut oleh J.S. Furnivall sebagai kehendak bersama (Nasikun: 2014/1984). Meski pendapat ini muncul pada pertengahan dekade limapuluhan, akan tetapi kemungkinan besar fenomena ini masih berlaku sampai sekarang.

Kalau diterjemahkan, hingga saat ini Indonesia masih belum mampu membuat prioritas apa yang harus dibereskan terlebih dahulu untuk membenahi negara ini ke depan. Munculnya kegagalan

menahan laju inlasi, kekerasan kelompok, mahalnya harga barang

di tengah tanah gemah ripah lohjinawi ini, mungkin bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan membikin prioritas tersebut.

Dalam konteks demikian, berbagai janji-janji yang dikeluarkan oleh para calon presiden ini mirip dengan pendapat pertama, yaitu ambisi yang melebihi kemampuan. Tidak perlu muluk-muluk, lima tahun adalah masa yang singkat dalam pemerintahan satu negara. Maka tidak perlu banyak-banyak menyatakan visi. Cukup satu saja. Misalnya, stabilitas sosial. Cukup ini saja diwujudkan selama lima tahun pemerintahan. Jika ini berhasil akan mampu menjadi landasan untuk proyek pembangunan pemerintahan berikut. Kandidat calon presiden sekarang dinilai mempunyai kemampuan berimbang.

Tetapi, di beberapa acara televisi, masing-masing berupaya mengangkat citra pasangan masing-masing, cenderung menonjolkan, bahkan ada nuansa menjelekjelekan pasangan lain. Ini bukanlah cara positif untuk mendidik masyarakat. Sekali lagi juga harus dikatakan, meski Indonesia telah merdeka 68 tahun, tetapi adanya suap-suapan dalam pemilu, sumbangan ini itu, termasuk serangan fajar, membuktikan tingkat partisipasi politik masyarakat, baik

pada partisipasi isik maupun intelektual, sangatlah kurang. Seluruh

pemikiran tadi, menjadi potensial munculnya pembohongan politik dari kontestan kepada masyarakat dalam kampanye presiden kelak.

Secara kultural, untuk mencegah adanya pembohongan politik ini, ada pada orang yang dituakan (tokoh) karena budaya masyarakat

Indonesia itu paternalistik (mempercayai mereka yang lebih tua). Akan tetapi karena tokoh politik maupun tokoh kultural sebagian besar larut pada ”politik aliran” menuju masing-masing capres, maka tanggung jawab ini sekarang beralih kepada intelektual. Dan intelek itu tidak hanya di lembaga pendidikan.

Siapa pun yang mempunyai kesadaran dan tindakan jernih dan jujur untuk memperbaiki kondisi bangsa, juga seorang intelektual. Melalai berbagai sikap, ceramah, sebaran melalui gadget, bimbingan kepada masyarakat, mereka harus bergerak untuk memberikan pencerahan politik. Bahwa politik tidak sekedar orasi, tetapi upaya untuk memilih manajer negara yang akan mampu mengelola negara ini dengan baik. 

Garis besar

Dokumen terkait