• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Inspirasi Dari Gabungan Partai Politik

A

da ide bagus ketika Ketua DPD Golkar Jawa Timur menyebutkan bahwa pihaknya berupaya mencalonkan Sukarwo, Gubernur Jawa Timur, untuk mendampingi Aburizal Bakrie sebagai calon presiden tahun 2014 nanti. Sukarwo kini berada di jajaran Partai Demokrat. Sedangkan Bakrie, sudah jelas menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Meski ini masih belum pasti, bahkan pencalonan Ical pun masih belum mendapat persetujuan bulan sebagai presiden di kalangan Golkar, akan tetapi ide menggabungkan dua partai ke dalam satu paket bisa dikatakan positif.

Penggabungan dua partai mendapatkan manfaat sosialnya sebagai simbol pemersatu politik. Cara ini bisa mempunyai nilai positif karena akan mengubah persepsi bahwa partai politik itu terpisah satu dengan yang lain. Sejarah sosial dan sejarah politik dari partai politik di Indonesia mempunyai konotasi yang berbeda. Secara sosial, cara pandang masyarakat terhadap partai politik di Indonesia mengacu kepada sesuatu yang berbeda. Artinya anggota partai politik yang satu mempunyai perbedaan dengan yang lain. Ada sekat pemisah diantara kedua-duanya tersebut. Ini dibuktikan dari sejarah dan perilaku simpatisan partai politik itu sendiri. Di jaman Orde Lama mereka yang menjadi anggota partai komunis mempunyai sikap berbeda dengan partai lain, demikian pula sebaliknya. Dan di jaman awal Orde Baru, seperti yang diketahui bersama, banyak dimpatisan partai komunis dibunuh. Di jaman Orde Baru, banyak anggota PDI ditekan

jika mereka tidak mau ikut dengan kebijakan pemerintah. Dan pada jaman reformasi, setidaknya kelihatan dari indikasi berbagai bentrok

politik di Bali, konlik antara Partai Golkar dengan PDI Perjuangan,

mencitrakan adanya keterpisahan jarak antara dua partai tersebut. Sejarah politik partai politik di Indonesia mungkin memberikan gambaran yang berbeda. Pada masa Orde Baru, munculnya peleburan partai-partai politik yang hidup pada masa Orde Lama memberikan kesan bahwa partai politik yang ada di Indonesia tersebut bersahabat, tidak mempunyai sekat dan perbedaan. Inilah yang terlihat pada tiga partai politik di jaman Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pencitraan kesatuan antara partai-partai politik itu juga terlihat di jaman reformasi. Upaya-upaya penggalangan suara yang dilakukan oleh para politisi eksekutif, entah itu pada pemilihan daerah tingkat II, I, bahkan presiden pun, selalu berupaya menggabungkan beberapa partai politik. Misalnya pencalonan seorang bupati akan didukung oleh Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PPP dan seterusnya. Kesan yang muncul disini adalah seluruh partai tersebut mempunyai misi yang sama, mempunyai persatuan dengan partai lain.

Akan tetapi, baik pada jaman Orde Baru maupun jaman reformasi, penggabungan tersebut bersifat semu. ”Bersahabatnya” partai politik di jaman Orde Baru, tidak bisa dilepaskan dari kekuatan Orde Baru untuk menekan belasan partai politik yang ada untuk digabung ke dalam tiga partai tersebut. Sedangkan bergabungnya partai-partai politik pada jaman reformasi untuk meraih dukungan dalam pemilihan bupati atau gubernur, mempunyai sifat yang sangat pragmatis. Ada kepentingan tertentu yang menjadi target partai yang bersangkutan untuk dikejar. Bisa jadi alasan yang sangat pragmatis: uang, proyek, posisi atau hal yang lain. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan kalau upaya penggabungan itu mempunyai kekuatan kohesivitas dan kekuatan yang tinggi.

Ide yang menyebutkan dua partai berbeda menjadi pasangan presiden dan wakil presiden, bisa dikatakan sebagai langkah maju, paling tidak untuk melebur skat-skat antar partai politik tersebut yang telah diciptakan oleh sejarah. Jika benar kelak presiden dari

Partai Golkar dan wakilnya dari Partai Demokrat, hal ini akan semakin memberikan keyakinan kepada rakyat bahwa sesungguhnya dua parti itu bisa saling bekerja sama. Dulu ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono berpasangan dengan Yusuf Kala sebagai wakil presiden, nuansa peleburan antara Demokrat dengan Partai Golkar itu telah ada. Kini hal itu akan dipertegas lagi oleh pasangan dua partai ini, apabila kelak itu memang jadi dilakukan.

Pengulangan pencalonan antar dua partai ini penting pada konteks sikap puncak eksistensial pperpolitikan di Indonesia. Artinya, upaya penggabungan itu terjadi pada tataran pemilihan presiden. Dinamika politik di Indonesia telah dieksperimenkan oleh penggabungan partai politik pada tingkat pemilihan kepala daerah tingkat II dan tingkat I. Akan tetapi, rekayasa ini kemudian bubar hanya dalam satu periode, bahkan di tengah jalan telah bubar. Beberapa pasangan itu (termasuk di DKI Jakarta) secara tidak segan- segan menyatakan ketidakcocokannya. Karena itu pasangan presiden dan wakil presiden yang berasal dari dua partai yang berbeda itu akan mampu memperbaiki citra yang telah coreng moreng di tingkat pemilihan kepala daerah tingkat I dan daerah tingkat II.

Ke depan, politik penggabungan ini mempunyai manfaat yang cukup besar. Banyak yang mengkritik bahwa jumlah partai politik yang ada di Indonesia ini terlalu banyak. Undang-undang memang memungkinkan jumlah partai di Indonesia mencapai belasan bahkan puluhan. Akan tetapi kalau kemudian dalam real politik hal itu tidak mampu memberikan makna yang positif, seperti kemampuan meraih suara yang banyak, kemampuan memberikan sumbangan pemikiran yang lebih baik kepada masyarakat, maka penggabungan partai politik dalam sebuah pemilihan kepala eksekutif, justru mampu memberikan inspirasi bagi penggabungan partai secara utuh. Inspirasi inilah yang diperlukan oleh masyarakat politik di Indonesia. Penggabungan partai politik tersebut akan berlangsung secara alami, tidak dipaksakan seperti di jaman Orde Baru (fusi partai tahun 1972). Karena berlangsung secara alami, maka kesadaran akan hasil dan prosesnya juga akan berlangsung secara lebih baik. Hasilnya pun akan diharapkan menjadi lebih baik. Eforia munculnya partai politik hanya bisa ditahan oleh dua hal, yaitu kegagalan mengembangkan

partai dan kedua, kesadaran untuk menggabungkan partai politik. Dengaan demikian, penyederhanaan partai juga akan berlangsung secara alami.

Akan tetapi, jika kemudian gabungan partai politik untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden itu rontok di tengah jalan, inilah yang menjadi marabahaya bagi sistem kepartaian di Indonesia. Ia akan menjadi model dan contoh bagi kebobrokan, keserakahan dan ketidakkonsistenan para politisi di Indonesia. Jadi, pikirkanlah secara matang agar usaha ini benar-benar mampu memberikan inspirasi bagi bangsa dan negara. 

Sisi Lain Konlik Internal

Garis besar

Dokumen terkait