• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menunggu Respon Politik Dari Konstituens Golkar

P

artai Golkar telah menyelesaikan perhelatan musyawarah nasionalnya yang berlangsungdi Nusa Dua. Hasil dari munas itu adalah terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi sebagai ketua umum dan sikap Golkar yang tetap menginginkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Mereka menolak Perppu yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Fenomena demikian sepertinya memperlihatkan “keaslian” Golkar. Dalam arti ada nuansa kembali ke di jaman Orde baru dulu. Pertanyaan disini, secara internal apakah itu tidak berbahaya bagi Golkar? Dan secara eksternal, apakah itu tidak akan memberikan sumbangan negative pada perkembangan kenegaraan dan sosial di masa mendatang?

Kalau ditafsirkan dalam konteks sosiologi politik, dalam iklim demokrasi di Indonesia, permusyawaratan/perwakilan itu dimungkinkan terjadi dengan itikad dasar yang sangat luhur. Artinya sebelum terjadinya kebersamaan sikap untuk mengambil kesepakatan, telah terjadi perdebatan dan berbagai pertimbangan terlebih dahulu dianatara berbagai pihak, golongan atau kelompok yang sedang berkompetisi. Perdebatan itu terjadi diantara sekian kandidat yang bertarung , mengemukakan berbagai argumentasinya di arena terbuka. Paling tidak di arena sidang. Maka, manakala terjadi semacam deadlock karena masing-masing pihak sudah “habis- habisan” mengeluarkan argumentasi, maka diambilah kesepakatan untuk memilih seseorang sebagai “pemenang”, demi menghilangkan

Tujuan utama ini adalah keutuhan organisasi dan pencapaian cita- cita organisasi. Dalam konteks kenegaraan, organisasi itu tidak lain adalah negara itu sendiri atau pemerintahan itu sendiri. Munculnya musyawarah yang dilandasi permufakatan itu didasari oleh karakter sosial masyarakat Indonesia yang dilandasi oleh gotong royong, tepa selira dan saling memberi. Paling dasar mungkin terletak pada sifat tradisionil masyarakat Indoensia yang menekankan pada stabilitas sosial.

Kalau dilihat dari kontestasi yang terjadi pada partaii Golkar saat melaksanakan musyawarah nasional di Nusa Dua ini, sikap musyawarah mufakat itu sesungguhnya nyaris bisa dilakukan seandainya saja satu calon lain sebagai competitor Aburizal Bakrie masih tetap ikut pemilihan sampai saat terakhir. Akan tetapi calon bersangkutan mundur konon karena ketidakpuasan atas aturan- aturan tertentu. Inilah yang kemudian yang dapat mencoreng suara aklamasi yang didapatkan oleh ketua umum Partai Golkar. Kalau dikaitkan dengan perceksokan yang terjadi sebelum diselenggarakannya musyawaran nasional ini, maka keterpilihan tersebut semakin jauh dari musyawarah mufakat seperti yang ditafsirkan diatas.

Sebagian besar masyarakat Indonesia sekarang masih menganut budaya tradisional. Akan tetapi sikap tradisionalitas itu kemungkinan juga telah mendapatkan “pembaruan” lagi melalui model reformasi. Memang benar apabila dilakatakan tidak semua anggota masyarakat

menyukai demokrasi terbuka yang meungkinkan terjadinya konlik.

Amat mungkin sitesa dari dua budaya politik ini menghasilkan masyarakat yang mendukung musywarah mufakat dengan varian yang lebih modern. Artinya masyarakat tetap menginginkan adanya adu argumentasi, perdebatan dan sejenisnya tetapi kemudian menginginkan semua berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan. Perdebatan dan adu argumentasi itu merupakan hasil dari pembaruan demokrasi yang dilandasi reformasi di Indonesia. Sedangkan kemufakatan itu merupakan intisari dari budaya tradisionil masyarakat. Partai Golkar ke depan harus mengtantisipasi hal ini karena bukan tidak mungkin basis pendukung mereka berkarakter seperti yang diungkapkan diatas. Maka kritik terhadap keterpilihan

Aburizal Bakrie adalah tidak adanya unsure-unsur perdebatan tersebut. Inilah yang menjadi tantangan internal partai, terutama dari konstituens yang kini sudah mulai kritis.

Satu hal yang mesti dipertimbangkan, bahwa dengan model keterpilihan ketua umum seperti sekarang, boleh dikatakan masih belum teruji pada tingkat konstituens atau akar rumput. Para petinggi Golkar masih dapat mampu membuktikan apakah cara ini memang telah disetujui oleh masyarakat konstituens atau tidak. Sebab cara untuk membuktikan itu tergantung dari pemilihan umum, terutama pemilihan umum pusat (presiden). Apabila petinggi Golkar sekarang tetap mampu memegang partai dengan baik, kesempatan itu baru bisa dibuktikan pada pemilihan presiden mendatang. Membuktikan pada pemilihan umum daerah, sedikit lebih sulit karena faktor aktor- aktor politik di daerah. Sebagian masyarakat tradisional di daerah

masih melihat igure ke daerahan dalam menjatuhkan pilihan politik.

Sikap untuk menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang menekankan kepada pemilihan kepala daerah secara langsung, boleh dikatakan sebagai sikap politik Partai Golkar. Beberapa analis menyebutkan bahwa kekukuhan dari petinggi partai untuk tetap mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD, merupakan salah satu faktor yang membuat berhasilnya diselenggarakan munas di Bali ini. Logikanya apabila memang Golkar di koalisi Merah Putih dan tetap mendukung pola pemilihan demikian, maka potensi petinggi Golkar untuk mendapatkan kursi pemimpin dadrah tinggi. Akan tetapi, lagai-lagi tantangannya terletak pada praktik ke depan.

Sampai saat ini, “persekutuan” untuk menyepakati kembali ke pemilihan DPRD itu adalah persekutuan antar elit politik, bukan pada persekutuan rakyat. Artinya belum tentu rakyat kebanyakan itu (termasuk yang sebelumnya memilih Golkar dan partai lain di Koalaisi Merah Putih), ikut-ikutan menyetujui pola demikian. Pembelajara politik yang terjadi di masa refeormasi cukup banyak dan dengan rentang waktu yang panjang. Seluruh pemilu setelah tahun 1999 dilakukan secara langsung. Paling tidak telah tiga kali rakyat terlatih melakukan pemilihan secara langsung dengan rentang waktu sampai 15 tahun, hampir satu generasi pemilih. Cara ini telah mampu melahirkan budaya politik kepada masyarakat, yang tidak lain dalam

hal inii adalah pemilihan langsung. Pemaksaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bisa-bisa menjauhkan rakyat dari partai-partai sponsor ini. Jadi, tetap perlu bukti dipemilihan umum mendatang.

Di Balik Sikap Bolak-balik

Garis besar

Dokumen terkait