• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Kepada Perempuan: Tradisionalis di Tengah

“Modernisasi”

P

emilihan umum legislatif ini telah menghasilkan kenyataan bahwa kaum perempuan belum terpilih sesuai dengan yang diharapkan. Mayoritas dari anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah masih didominasi laki-laki. Ini menandakan harus ada perjuangan lebih maksimal lagi agar perempuan bisa masuk ke lingkungan legislatif ini di masa depan. Padahal, keterwakilan perempuan dipandang akan mampu memberikan alternatif kebijakan. Alternatif tersebut tidak hanya berupa tersalurnya kepentingan secara lebih layak, tetapi bentuk kebijakan yang dihasilkan mampu lebih membumi seperti kaidah dari perempuan itu sendiri.

Ada beberapa cara pandang antara laki-laki dengan perempuan dalam konteks kehidupan sosial, termasuk diantaranya kehidupan politik. Moeljarto (1997) menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak masuk dalam ”pengkatagorian” natural atau alam. Sedangkan laki-laki adalah kultural atau budaya. Itu kemudian diterjemahkan bahwa dalam kehidupan sosial, wanita lebih menyesuikan diri dengan alam, mengikuti irama alam dalam melakukan kehidupannya. Perempuan dengan demikian lebih kalem yang kemudian diterjemahkan sebagai bekerja pada bidang-bidang domestik seperti mengasuh anak, memasak dan sejenisnya. Sedangkan laki-laki dalam landasan kultural terebut, memang harus berkreasi dalam kehidupan sosial. Laki-laki ”bebas” berkreasi dalam menaklukkan alam untuk

beraktivitas. Pendapat diatas boleh dikatakan sebagai pandangan tradisionil terhadap fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Amat mungkin hasil pemilu legislatif sekarang (entah di Bali maupun di tempat lain di Indonesia) mencerminkan sikap tradisionalis masyarakat Indonesia terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Politik pada hakekatnya adalah sebuah kerja budaya, kerja kultural. Sebagai sebuah aktivitas kultural tersebut, maka bentuk kreativitas sangat diperlukan untuk mencapai tujuan. Pada lingkungan elit, kreativitas tersebut sebenarnya bisa diandalkan melalui kerja otak atau pengetahuan. Pembuatan strategi, platform politik bisa dilakukan melalui diskusi, rapat-rapat dan sebagainya.

Akan tetapi begitu politik memasuki arena kompetisi yang ketat, maka semakin di bawah rentang struktural dari politik tersebut, kerja kreatif ini tidak cukup dilakukan dengan mengandalkan otak atau pengetahuan saja (apalagi dengan survei macam-macam). Kreativitas

itu benar-benar memerlukan kerja isik yang kuat. Rapat sampai

tengah malam, begadang berhari-hari, berdebat, berkunjung ke

konstituens, meyakinkan konstituens adalah kreativitas isik yang

sangat menyita tenaga dan waktu. Tentu saja juga mempunyai beban ekonomi (keuangan). Pada konteks ini, politik sepertinya dimaknai sebagai kerja kaum laki-laki. Hanya laki-lakilah yang mampu mengoptimalkan kreativitasnya dengan iklim kompetisi seperti yang disebutkan diatas. Pada pihak lain, wanita dipandang tidak mampu menandingi kerja budaya tersebut yang menuntut kreativitas tinggi.

Kultur masyarakat Indonesia (tentu saja juga di Bali), nampaknya tidak berubah dengan kenyataan seperti itu. Hasil pemilihan umum legislatif ini mencerminkan bahwa tidak banyak ada pergeseran cara pandang terhadap nilai-nilai budaya tradisionil tersebut. Jadi, laki- lakilah yang didahulukan dalam bidang kultural seperti ini. Praktik- praktik budaya di Indonesia juga memperlihatkan hal seperti ini.

Di Bali, malah di beberapa kampung, secara terang benderang malah ”menomorduakan” kaum perempuan. Perempuan misalnya akan mendapatkan ”giliran kedua” dalam acara sajian menikmati makanan dalam sebuah kenduri. Bahkan dalam sebuah permandian umum, posisi tempat mandi kaum perempuan ada pada lokasi lebih rendah (di bawah) atau berada di sebelah kiri. Ini merupakan

cerminan sempurna antara posisi perempuan dengan laki-laki di tingkat masyarakat. Jadi, kalaupun perolehan kursi kaum perempuan di kalangan anggota legislatif sangat minor, logika tradisionalnya seperti pada uraian diatas.

Maka, dalam konteks masyarakat seperti itu, seharusnya ”top manajer” dari negara ini (presiden) paling baik kalau berasal dari kaum perempuan. Sesungguhnya pencalonan Megawati sebagai presiden, memenuhi proporsi tepat pada konteks uraian diatas, dengan tujuan untuk mengubah cara pandang tradisionil Indonesia terhadap perempuan. Pada sisi politik perempuan, pilihan ini positif demi masa depan perkembangan politik perempuan di Indonesia. Ratusan tahun lalu Kartini sudah memperjuangkan hak itu. Ternyata sekarang, masih belum mampu terpenuhi dengan baik.

Pendapat-pendapat internasional telah lama membicarakan bahwa perempuan tersebut sangat diperlukan duduk sebagai partner

laki-laki di dalam dunia politik. Terutama saat konlik yang terjadi

selama Perang Dingin, sangat diperlukan kaum perempuan untuk mengimbanginya. Kedekatan perempuan secara filosofis dengan natur (alam) dipandang mampu lebih ”mendinginkan” suasana

konlik karena sifat alam secara sabar akan mengikuti perubahan-

perubahan sosial. Bisa jadi, sebutan-sebutan ”lady first” yang muncul pada masyarakat Barat bersumber dari pandangan tersebut. Munculnya Cory Aquino menjadi Presiden di Filipina tahun 1986 dimungkinkan juga sebagai patokan bahwa perempuan mempunyai bukti kuat mampu menandingi machoisme (kekerasan) yang ada pada kaum laki-laki. Saat Aquino menjadi presiden, berkali-kali ia mampu mematahkan perlawanan kaum pembangkang yang diperlihatkan melalui upaya kudeta oleh kelompok tentara. Di Amerka Serikat, dalam beberapa periode pemerintahan, jabatan politik luar negeri dipegang oleh perempuan. Sekali lagi, amat mungkin ini merupakan cerminan upaya meluluhkan diplomasi negara lain.

Karena itu, ketika fakta telah menyatakan bahwa perempuan tidak terlalu mendapatkan tempat pada lembaga legislatif, ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dari sekarang. Segenap komponen pemerintahan harus memahami bagaimana pentingnya posisi perempuan itu diperhitungkan. Dan karena itu haruslah ada

pemikiran secara bersama-sama untuk mengubah cara pandang terhadap posisi perempuan tersebut.

Karena lembaga legislatif telah menujukkan posisi seperti itu, maka lembaga eksekutif dan legislatif haruslah mampu menandingi ”kekakuan” lembaga legislatif. Artinya,. pejabat-pejabat SKPD di tingkat provinsi maupun kabupaten, mungkin sudah saatnya sebagian dipegang oleh perempuan. Presiden mendatang sebaiknya mengangkat menteri dari kaum perempuan lebih banyak dari apa yang dilakukana pemerintah sebelumnya. Lembaga-lembaga publik, seperti media massa, juga tidak harus ragu-ragu menempatkan perempuan pada posisi puncak. Dan tentu saja para hakim, termasuk hakim mahkamah konstitusi, mengangkat kaun perempuan lebih banyak sebagai hakimnya demi kesetaraan jenis kelamin ini dalam fungsi sosial.

Pemilu legislatif yang baru lewat banyak memberikan cerminan kehidupan sosial di Indonesia. Tengah begitu glamornya kehidupan sosial, cerewetnya acara televisi, bermunculannya orang sok sosialita, ternyata masyarakat Indonesia masih tradisional bersikap sosial dalam hal jenis kelamin. Masih ada waktu untuk mengubahnya. 

Jika Ratu Adil Bertemu

Garis besar

Dokumen terkait