• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hindari Jadi Parpol Pahlawan ”Kepagian”

P

artai politik peserta pemilu 2014 kini masing-masing telah mengantongi nomor urut. Pendatang baru, Partai Nasional Demokrat mendapatkan nomor urut pertama (No.1), sedangkan Partai Hanura mendapatkan nomor urut sepuluh (10). Sejak ditetapkannya nomor urut ini, telah muncul berbagai pernyataan politik dari pemimpin partai dengan menyanjung nomor masing-masing. Mengatakannya sebagai keberuntungan, nomor strategis atau pilihan yang memang telah diduga sebelumnya. Tapi, tentu rakyat tidak bodoh yang hanya melihat nomor partai sebagai patokan untuk memilih kelak dalam pemilu.

Di dalam kehidupan politik masyarakat yang masih tradisionil, nomor malah sering membingungkan karena tidak semua pemilih mengatahuinya. Masyarakat pemilih seperti ini identik dengan tingkat pendidikan masih rendah yang tidak mengetahui angka. Untuk itulah, demokrasi yang berlangsung pada masyarakat tradisionil sering kali partainya diidentikkan dengan gambar benda- benda hidup yang dekat dengan mereka seperti kuda, sapi, ayam, pepohonan, bulan, bintang atau simbol sosial lain yang paling dekat dengan kehidupan sosial. Demokrasi dalam sistem seperti ini benar- benar merupakan pencampuran antara sikap tradisionil dengan upaya kebebasan melakukan pilihan. Karena itulah, sarana kampanye bagi partai politik di jaman seperti itu sering menggunakan alat- alat, mislanya kendaraan, yang identik dengan gambar partainya. Partai Nasional Indonesia di masa lalu, dekade tujuhpuluhan, pernah

memakai kendaraan yang didekorasi seperti sapi untuk mengantar kampanye para kadernya. Gambar, dalam konteks demikian, justru mengalahkan nomor pada masyarakat model demikian.

Akan tetapi, nomor atau jumlah angka tetap mampu diutak- atik sebagai sebuah permainan politik. Konon ketika menjelaskan sosial konsep pilihan jumlah sila dalam jumlah Pancasila, Presiden Pertama RI pernah mengatakan kepada rakyat Indonesia bahwa jumlah lima itu tepat karena manusia mempunyai jari-jari kaki maupun tangan banyaknya lima, pendawa mempunyai anak lima dan seterusnya. Ketika Partai Demokrat dulu mempunyai nomor urut sembilan, inipun juga dikait-kaitkan dengan anka mujur karena lahir di bulan sembilan. Angka dan nomor bisa saja dimanipulir menjadi keuntungan-keuntungan politik tertentu. Sekali lagi, masyarakat yang bisa menerima hal seperti ini adalah masyarakat dari negara-negara yang masih menyisakan sifat tradisionilnya atau mereka yang baru bertransisi menuju masyarakat yang lebih maju. Masyarakat ”tengah” seperti ini masih mempercayai tahyul, kekuatan irasional dan kurang melihat manfaat partai politik sebagai jembatan fungsional untuk perjuangan kehidupan sosial.

Menyikapi masyarakat politik Indonesia di tahun 2014 ini, partai politik haruslah hati-hati. Fenomena kemenangan Jokowi dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu, harus memutar otak pada kontestan politik untuk semakin berhati-hati. Disitu dijelaskan secara gamblang oleh realitas bahwa nomor (bahkan baju, warna dan kumis sekalipun), tumpul di hadapan mereka. Sosiologi politik masyarakat Jakarta sudah sangat jelas memperlihatkan kerasionalan mereka. masyarakat pemilih akan bersikap positif kepada pemimpin yang tidak mengobral janji tetapi kepada calon pemimpin yang mengobral tindakan nyata. Paling tidak dalam pandangan masyarakat Jokowi (ketika memimpin Solo) dipandang memlakukan tindakan yang kedua. Itulah yang membuat nomor, warna bahkan baju kotak-kotak tidak singgah di hati mereka.

Lalu bagaimana dengan fenomena masyarakat Indonesia di tahun 2014 nanti?

Ada indikasi kuat kalau masyarakat Indonesia sekarang sudah lebih rasional. Fenomena Jokowi itu sudah terkenal di mana-mana

dan yang paling kelihatan dari hal itu adalah apa yang disebut dengan ”blusukan” tersebut. Dari sisi fakta sosial, ”blusukan” itu adalah tindakan dari sesorang (pimpinan) yang bersedia turun ke lanpangan sampai ke pelosok, melihat keadaan sosial langsung ke lapangan. Dari sisi konsepsional, ”blusukan” merupakan upaya mencari kebijakan sosial yang tepat. Dengan cara seperti itulah pemimpin dapat mengetahui dengan pasti apa yang ddiperlukan masyarakat. ”Blusukan” juga amerupakan tindakan untuk mengatasi sikap ”asbun” bawahan yang suka memberikan masukan kepada atasan dengan fakta-fakta bohong dengan tujuan agar atasan senang. Gencarnya pemberitaan media massa konvensional dengan tindakan politik Jokowi dan gencarnya pesan melalui media sosial memberikan sumbangan besar kepada pengetahuan politik masyarakat yang menuju pada sikap-sikap yang rasional. Sikap inilah merupakan sikap yang jauh lebih maju ketimbang dengan cara pandang tradisionil atau cara pandang setengah-setengah antara tradisionil-maju. Dengan bantuan media massa seperti itu, sikap rasional masyarakat Indonesia sekarang tidak hanya ada di Jakarta saja tetapi diyakini sudah jauh meluas ke berbagai provinsi lain. Kurang dari dua tahun waktu berjalan menjelang pemilihan umum tahun 2004, akan semakin memperkuat keyakinan bahwa penyebaran sikap rasionalitas itu akan semakin luas.

Jadi, sepuluh partai politik yang kelak akan bertarung pada pemilu mendatang, janganlah mengutak atik nomor, apalagi mengait- ngaitkannya dengan bahasa tahyul yang membodohi rakyat. Utak- atik nomor salah-salah akan dipandang sebagai partai politik yang mirip dengan nomor buntut. Rasionalitas merupakan sikap yang paling pantas dikedepankan oleh setiap partai yang kelak bertarung dalam pemilu. Sikap demikian tidak boleh hanya diartikan sebagai upaya mencari keuntungan maksimal, tetapi sebagai sebuah cara untuk mendapatkan hasil maksimal dalam mendekati hati rakyat. Dan rakyat yang dihadapi adalah mereka yang sudah pintar-pintar dan suka mempunyai sikap yang rasional. Maka ketika sikap rasional ini (dari partai politik) beradu dengan rasional (dari masyarakat), yang muncul adalah sikap intelek, jujur, taat hukum, tertib, positif dan berpandangan jauh ke depan. Paling akhir melihat kemajuan

kepada bangsa dan negara.

Satu hal yang juga harus dipertimbangkan oleh partai politik dalam keadaan rasional beradu rasional itu adalah soal start kampanye. Sekarang banyak yang mengkhawatirkan bahwa beberapa tokoh partai politik mempunyai media massa yang sangat potensial untuk mendukung kapmanyenya. Dikhawatirkan mereka-mereka ini akan mencuri start dalam kampanye melalui media massa yang dimilikinya. Maka satu pesan yang harus dicamkan, jangan sekali- kali memakai cara ini karena masyarakar rasional akan langsung memfonis sebagai partai yang kepagian. Partai yang datang kepagian bisa-bisa hanya akan menjadi penonton di masa depan karena pertunjukan belum berlangsung. 

Zigzag Politik Golkar

Garis besar

Dokumen terkait