• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelemahan Popularitas Calon Presiden Indonesia

C

alon presiden dari Partai Golkar ternyata masih banyak mengritik. Bukan hanya dari kalangan eksternal tetapi justru dari sisi internal partai ini banyak yang melakukan otokritik. Misalnya, ada yang menyuruh mundur saja dan lebih baik berposisi sebagai King Maker. Tetapi, Partai Demokrat juga mempunyai masalah sama. Meski mekanisme konvensi sebagaian sudah berjalan, akan tetapi hasil konvensi inipun banyak yang meragukan. Kemungkinan calon presiden dari hasil itu tidak akan bisa ikut bertarung kalau partai ini tidak mendapatkan suara banyak dalam pemilihan legislatif nanti. Akibatnya, Demokrat harus ikut koalisi dengan pertai lain. Apabila hal ini terjadi, belum tentu calon dari partai tersebut terpilih dan diajukan. Alasannya: peserta konvensi Partai Demokrat kalah populer dibanding calon partai lain, apalagi Jokowi yang menjadi ”milik” PDI Perjuangan. Meski partai ini masih malu-malu kucing mencalonkan gubernur DKI itu tetapi, justru rakyat akar rumput banyak yang menggadang-gadangnya menjadi calon presiden. Malah para bebotoh telah ada mulai pasang taruhan, apakah kelak Jokowi dicalonkan atau tidak oleh PDI Perjuangan. Kalau sudah begini, sikap partai pun pada akhirnya mendorong munculnya perilaku judi di masyarakat. Jadi, sebaiknya partai politik mesti tahu juga keadaan masyarakat kalau memang para elitnya masih malu-malu mengakui keunggulan calon yang tiba-tiba muncul di masyarakat.

Bahwa calon presiden dari Partai Golkar masih banyak mendapat kritikan dari kalangan internal, bisa disebutkan bahwa popularitas

itu ternyata memiliki hal lain di belakangnya. Calon dari partai ini jelas mempunyai popularitas tinggi. Bukan karena pernah menjadi menteri, pemilik perusahan besar termasuk juga sering kelihatan di televisi, tetapi baik kiprahnya dalam dunia ekonomi Indonesia maupun dinasti keluarganya memang telah mempunyai posisi tersendiri di Indonesia. Akan tetapi, sebagai calon presiden, popularitas itu memang tidak cukup. Disinilah harus dilihat bahwa missi sebagai calon presiden mempunyai faktor lain tersembunyi, tidak kelihatan, dimana faktor inilah yang mengaitkannya dengan kehendak masyarakat. Secara umum dikatakan bahwa kharisma akan mendorong masyarakat untuk memilih. Tetapi di samping kharisma ada faktor tersembunyi yang sangat mempengaruhi sikap masyarakat untuk memilih. Dikatakan tersembunyi karena ada kekuatan penggerak yang mendorong masyarakat memilih yang bersangkutan sebagai presiden. Apabila kharisma Soekarno dilihat dari cara berpidatonya, keberaniannya dan kepintarannya bersilat lidah, bagaimana harus menilai keterpilihan dari Cory Aquino sebagai Presiden Filipina tahun 1986?

Kekuatan tersembunyi dari Cory adalah keyakinan rakyat bahwa di balik penderitaannya ada keinginan tulus untuk memerintah rakyat yang terpinggirkan di masa Ferdinand Marcos. Dan itulah yang kemudian terbukti karena Cory mampu menyelesaikan tugasnya selama enam tahun di tengah berbagai upaya kudeta dari Gregorio Honassan. Megawati bisa dikatakan sebagai kekuatan kharismatis yang didapatkan fari sang ayah. Kekuatan ini sesungguhnya tidak melekat terlalu kuat dan mudah goyah. Dengan konteks itu, mudah dimengerti mengapa pada pemilu tahun 1999 kekuatan PDI Perjuangan masih mampu ditempel oleh Partai Golkar dan partai lain yang kemudian memilih Gus Dur sebagai presiden melalui pemilihan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Mega pun hanya terpilih setelah Gus Dur ”dilengserkan”. Selanjutnya popularitas Megawati terus merosot. Boleh dikatakan rakyat masih belum melihat kekuatan tersembunyi di balik tokoh Megawati, mesti harus diakui apabila orangtuanya mempunyai kekuatan komplit, baik sebagai orang kharismatis maupun kekuatan tersembunyi yang hanya bisa dirasakan masyarakat.

Pada konteks itulah harus dilihat bagaimana kondisi pemilihan umum presiden Indonesia tahun depan. Seorang calon presiden harus dipersepsikan mempunyai kekuatan tersembunyi di luar kharisma yang dimilikinya. Jadi, kharisma itu boleh dikatakan sebagai sebuah keperluan, tetapi tidak cukup dengan kharisma saja karena mesti ada sesuatu yang melekat di hati masyarakat, berdasarkan ”indra keenam” mereka. Karena itu setiap calon presiden yang akan melaju pada pemilihan nanti, tidak cukup hanya populer saja. Popularitas bisa dikatakan sebagai langkah pertama dari tiga langkah yang harus dimiliki. Setelah popularitas, langkah berikutnya adalah kharismatik. Tetapi dalam konteks Indonesia dan negara-negara berkembang, kharisma ternyata tidak cukup. Harus ada agenda tersembunyi yang bisa menggugah masyarakat untuk memilihnya. Macam-macam yang ada pada agenda tersembunyi ini, misalnya ratu adil, kesungguhan, benar-benar jujur, tulus, tidak muluk-muluk, keteladanan yang hanya masyarakat mampu mengartikan dan meyakininya.

Popularitas itupun juga harus dilihat secara hati-hati. Konsepsi ini ada dua, yakni konstruksional dan popularitas populis. Popularitas konstruksional adalah keadaan yang sengaja dibentuk untuk membuat seseorang terkenal. Pembentuknya macam-macam seperti ketersediaann dana yang banyak, sekutu, jaringan, media massa atau membuat sensasi tertentu sehingga menjadi dikenal orang. Sedangkan popularitas populis, memang keadaan yang benar-benar membuat seseorang itu terkenal karena prestasi dan pembawaan dirinya. Masyarakat menerima orang seperti ini ”ikhlas”, paham, tahu, menyadari dan membenarkan populernya sehingga tidak mengandung kecurigaan-kecurigaan tertentu. Tetapi popularitas yang dikonstruksi, banyak menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. Artis yang tiba-tiba populer sangat dicurigai karena ia kemungkinan sengaja dipopulerkan demi keuntungan media massa bersangkutan. Politisi yang tiba-tiba populer juga dicurigai karena kemungkinan dengan modal besar mereka mampu memplot berita, membikin acara sendiri atau membikin sensasi demi peemberitaan itu. Rakyat tidak akan menerima popularitas konstruksionall seperti ini.

Bagi politisi, tidak akan mungkin memunculkan orang kharismatis apabila popularitas tersebut memang dikonstruksikan,

disengaja hanya semata-mata untuk mendapatkan simpati politik. Jika kharismatis saja masih belum bisa ditampilkan melalui metode konstruksi seperti ini, bagaimana mungkin para politisi tersebut mampu membentuk image ”tersembunyi” yang memang diperlukan dan dipercayai masyarakat untuk memilihnya. Dalam konteks pemilihan presiden mendatang, maka sebagian besar calon presiden yang telah berani memunculkan dirinya ke publik, termasuk mereka yang ikut konvensi, ada dalam ranah popularitas terkonstruksi itu, yakni upaya sengaja membentuk popularitas bagi dirinya. Di balik kelebihan mereka yang telah berani menampilkan diri terlebih dahulu ke hadapan publik, kelemahan mereka terletak pada popularitasnya yang masih berbentuk popularitas kontruksional. Masih jauh dari harapan publik yang menginginkan ada kekuatan tersembunyi, yang mampu mendorong keinginnan mereka untuk memilih. Apalagi sebagian para politisi Indonesia sudah kadung di cap tukang bohong oleh masyarakat.

Lalu, siapa yang akan mampu mewujudkan diri sebagai calon pemimpin kharismatis yang ”lebih” dalam pemilu presiden mendatang? Mungkin ”ratu adil” yang akan mampu menjawabnya. Di tengah berbagai skandal, kasus, dan degradasi sosial di Indonesia, rakyat kembali menunggu ”ratu adil” untuk memerintah Indonesia. 

Realitas Televisi Dalam

Garis besar

Dokumen terkait