• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jika Ratu Adil Bertemu Ratu Adil Dalam Pemilu

P

emilu presiden tinggal seputaran dua bulan lagi . Mengandalkan perubahan budaya politik masyarakat, sudah tidak mungkin lagi. Pada setiap masyarakat, berlaku hukum alam berupa, pengetahuan sangat berpengaruh kepada budaya politik mereka. Menanamkan pengetahuan tidak semudah menanam kacang kedelai. Akan tetapi begitu penegtahuan itu tertanamm dengan baik, budaya politik itu berubah drastis. Ia menjadi rasional dan adaptif terhadap perubahan. Masyarakat mempunyai tradisi, gaya dan keyakinan politik terhadapp figur atau performa partai politik dan aktor- aktornya.

Di negara maju yang pengetahuan politiknya sudah mantap, budaya tersebut mampu begreka ke arah rasional. Tetapi di negara berkembang, hal ini sulit sekali terjadi. Indonesia adalah negara berkembang, yang bagaimanapun sok modern penampilan masyarakatnya, sok keren para sosialitanya, tetapi budaya politiknya masih tetap tradisional. Pada masyarakat tipe seperti ini, mereka

masih mengandakan igur semacam ratu adil sebagai pemimpin. Jadi bisa dikatakan model pemerintahnnya republik tetapi igur yang

diinginkan raja. Praktik republik merupakan sistem pemerintahan modern. Tetapi raja adalaah sisa-sisa feodalisme.

Tanpa mengurangi kemampuan kognitif, usaha dan kepribadian Susilo Bambang Yudoyono ataupun Joko Widodo, termasuk juga

Soekarno, igur-igur tersebut merupakan idaman masyarakat yang

Kharisma menjadi andalan paling tinggi dari kepemimpinan seperti ini. Akan tetapi kepemimpinan yang kharismatis-ratu adil tersebut sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua bagian. Yang pertama, mereka aratu adil sebagai penyelamat bangsa dari ancaman musuh. Inilah tipe yang ”hinggap” pada diri Soekarno. Ia diidamkan sebagai pemimpin yang mampu menandingi dan menghadapi musuh dengan gagah perkasa, baik dengan senjata maupun omongannya. Soekarno memperoleh legitimasi itu melalui keberaniannnya bersilat lidah dan berdiplomasi. Sejarah membicarakana bahwa dengan siapapun presiden pertama RI itu tidak takut menghadapinya. Bahkan dalam sebuah tulisannya ia mengkritik taktik perang dari Hitler dan Napoleon yang dalam pandangannya menjiplak Jengis Khan.

Yang kedua adalah tipe Ratu Adil dalam pengertian mampu memberikan ksejehatreaan dan keadilan kepada masyarakat. Kharismatis seperti ini bisa terlihat pada tindakan maupun gerak-

gerik isik. Atau melekat pada kedirian seseorang sehingga membuat

pencitraan dan mampu kemudian menarik seseorang untuk ”tunduk” kepada mereka. Secara jujur harus diakui bahwa apa yang terjadi pada Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo, ada pada khasanah Ratu Adil sepert ini. Susilo Bambang Yudoyono pada citra dirinya, mulai dari cara berbicara, gestur tubuh sampai dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Inilah yang memiripkan ia seperti Ratu Adil itu. Joko Widodo juga mempunyai hal yang sama, pencitraan yang sama. Jangan salah apapun yang melekat pada penilaian manusia adalah sebuah pencitraan. Apa pun itu karena orang tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi. Jika Susilo Bamnag Yudoyono melalui pencitraan diri, Joko Widodo ada pada tindakannya yang menyentuh masyarakat melalui ”blusukan” yang dilakukan. Ini lebih mengaraha pada persoalan psikologis. Masyarakat yang mempunyai persoalan psikologis, harus disentuh dan didekati. Maka ketika Joko Widodo melakukan itu, pola langkahnya menjadi klop. Ia pun seperti seorang mesias, seorang Ratu Adil dan diperbincangkan dimana-mana. Tetapi sebagian masyarakat juga mengkonter berbagai perbincangan tersebut. Tesis dan antitesis ini menjadi sangat menarik dilihat dari sisi perubahan perkembangan sosial.

tradisionil pertanian, terjebak dengan citra-citra seperti itu. Secara teoritik, memang budaya politik seperti ini memang cocok dengan kondisi masyarakat. Mereka masih mengandalkan juru adil, pembimbing untuk menjalani kehidupan sosial yang bagaimanapun menekan bagi mereka.

Dalam budaya sosial pertanian yang kental, masyarajatnya pasti akan tertekan manakala disuguhi oleh budaya kapitalis. Inilah yang menjadi kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Itulah yang mebuat sentuhan oleh Joko Widodo begitu berarti dan begitu menyebar cepat ke berbagaia pelosok di Indonesia. Pada tataran politik, kondisi budaya masyarakat seperti ini, sungguh membingungkan para politisi untuk menggaet kekuasaan. Kebingungan partai politik mencari pasangan presiden (wakil presiden), sangat berkorelasi dengan kondisi sosial masyarakat seperti yang disebutkan diatas. Intinya adalah masyarakat menginginkan seorang ratu adil. Jika PDI Perjuangan sudah mempunyai hal itu, partai lain harus juga mencarinya.

Akan tetapi harus tetap hati-hati. Ratu Adil itu jelas-jelas mitos. Sedangkan politik dan kebijakan adalah realitas dunia yang memerlukan rasionalitas untuk mengelolanya. Tidak ada ratu adil yang mampu memerintah dunia. Karena itu, pemimpin yang terlalu mengosepkan ini, akan mendapat kritikan saat ia turun tahta. Harapan dari masyarakat tidak kesampaian.

Pada kasanah politik Indonesia sekarang, yang justru menarik adalah mencari-cari orang yang mampu menandingi ratu adil tersebut. Atau menggabungkan antara Ratu Adil dengan rasionalitas. Kini telah muncul kejutan pikiran. Agar Sang Ratu Adil ini bisa dua- duaanya tampil, muncul pemikiran bagaimana kalau Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan lalu, Susilo Bambang Yudoyono menjadi wakil presiden oleh partai lain? Ini adalah usulan hebat karena memunculkan dua-duanya sang Ratu Adil.

Susilo Bambang Yudoyono secara hukum jelas sudah tidak boleh mencalonkan diri menjadi presiden lagi karena telah dua kali menjabat. Akan tetapi dimungkinkan untuk menjadi seorang wakil presiden. Tentu ada yang menanyakan apakah Susilo Bambang Yudoyono bersedia?

Politik adalah seni, kemauan dan (untuk jaman sekarang) berani malu. Sepanjang tidak disalahkan aturan, maka seorang presiden yang kemudian menjadi wakil presiden pada periode berikutnya merupakan sebuah langkah terobosan. Sebagai sebuah seni, maka Ratu Adil lawan ratu Adil akan menjadi sebuah tontonan politik yang menarik. Seni unjuk muka, unjuk sikap dari para calon akan mampu menggugah pikiran masyarakat untuk mempertimbangkanya. Politik itu juga sebuah kemauan. Sepanjang mislanya Susilo Bambang Yudoyono melihat itu sebagai sebuah peluang untuk menghentikan

kebingungan partai untuk mencari igur. Mungkin ini sesuatu yang

bermanfaat. Tenaga untuk saling manuver akan bisa dihemat. Berani malu, itulah politisi. Mungkin ada yang menyebutnya sebagai tidak tahu malu kalau mengambil posisi itu. Tetapi malu bisa ditangkis dengan alasan politik yang logis. Bukankah perpaduan antara rasionalitas dengan mitos itu tepat untuk masyarakat Indonesia. Bahkan akan mampu memperbaiki pola-pola mitos yang hiudp dan berkembang. Ratu Adil menghadapi Ratu Adil belum pernah terjadii di Indonesia.

Siapa tahu dalam waktu dua bulan mendatang itu terjadi. Ini menarik, ini seni dan tentu juga tantangan sendiri bagi masyarakat Indonesia. 

Melindungi Rakyat

Garis besar

Dokumen terkait